Monday, March 2, 2015

APA ITU SIFAT HEDONISME?


Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Tujuan paham aliran ini, untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Kala itu, hedonisme masih mempunyai arti positif. Dalam perkembangannya, penganut paham ini mencari kebahagiaan berefek panjang tanpa disertai penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktik asketis, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa agar mendapat kebahagiaan sejati.
Namun waktu kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, paham ini mengalami pergeseran ke arah negatif dalam semboyan baru hedonisme. Semboyan baru itu, carpe diem (raihlah kenikmatan sebanyak mungkin selagi kamu hidup), menjiwai tiap hembusan napas aliran tersebut. Kebahagiaan dipahami sebagai kenikmatan belaka tanpa mempunyai arti mendalam.
Kedangkalan makna mulai terasa. Pemahaman negatif melekat dan pemahaman positif menghilang dalam hedonisme. Karena pemahaman hedonis yang lebih mengedepankan kebahagiaan diganti dengan mengutamakan kenikmatan.Pengertian kenikmatan berbeda dari kebahagiaan. Kenikmatan cenderung lebih bersifat duniawi daripada rohani. Kenikmatan hanya mengejar hal-hal yang bersifat sementara. Masa depan tidak lagi terpikirkan.Saat paling utama dan berarti adalah saat ini. Bukan masa depan atau masa lalu. Hidup adalah suatu kesempatan yang datangnya hanya sekali. Karena itu, isilah dengan kenikmatan tanpa memikirkan efek jangka panjang yang akan diakibatkan.Bila terlampau memikirkan baik buruknya hidup, akan sia-sia karena setiap kesempatan yang ada akan terlewatkan. Demikian pemikiran hedonis negatif yang berkembang saat ini.Pemikiran itu agaknya sangat cocok dengan gaya hidup masyarakat modern. Individualitas dan nafsu untuk meraih kenikmatan sangat kental mewarnai kehidupan kita. Hedonisme menurut Pospoprodijo (1999:60) kesenangan atau (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup dan yang baik yang tertinggi. Namun, kaum hedonis memiliki kata kesenangan menjadi kebahagiaan. Kemudian Jeremy Bentham dalam Pospoprodijo (1999:61) mengatakan bahwasanya kesenangan dan kesedihan itu adalah satu-satunya motif yang memerintah manusia, dan beliau mengatakan juga bahwa kesenangan dan kesedihan seseorang adalah tergantung kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umumnya dari seluruh masyarakat.
Adapun hedonisme menurut Burhanuddin (1997:81) adalah sesuatu itu dianggap baik, sesuai dengan kesenangan yang didatangkannya. Disini jelas bahwa sesuatu yang hanya mendatangkan kesusahan, penderitaan dan tidak menyenangkan, dengan sendirinya dinilai tidak baik. Orang-orang yang mengatakan ini, dengan sendirinya, menganggap atau menjadikan kesenangan itu sebagai tujuan hidupnya.
Menurut Aristoteles dalam Russell (2004:243) kenikmatan berbeda dengan kebahagiaan, sebab tak mungkin ada kebahagiaan tanpa kenikmatan. Yang mengatakan tiga pandangan tentang kenikmatan: (1) bahwa semua kenikmatan tidak baik; (2) bahwa beberapa kenikmatan baik, namun sebagian besar buruk; (3) bahwa kenikmatan baik, namun bukan yang terbaik. Aristoteles menolak pendapat yang pertama dengan alasan bahwa penderitaan sudah pasti buruk, sehingga kenikmatan tentunya baik. Dengan tepat ia katakan bahwa tak masuk akal jika dikatakan bahwa manusia bisa bahagia dalam penderitaan: nasib baik yang sifatnya lahiriyah, sampai taraf tertentu, perlu bagi terwujudnya kebahagiaan. Ia pun menyangkal pandangan bahwa semua kenikmatan bersifat jasmaniah; segala sesuatu mengandung unsur rohani, dan kesenangan mengandung sekian kemungkinan untuk mencapai kenikmatan yang senantiasa kenikmatan yang tinggal dan sederhana. Selanjutnya ia katakan kenikmatan buruk akan tetapi itu bukanlah kenikmatan yang dirasakan oleh orang-orang yang baik, mungkin saja kenikmatan berbeda-beda jenisnya dan kenikmatan baik atau buruk tergantung pada apakah kenikmatan itu berkaitan dengan aktivitas yang baik atau buruk.
Menurut Epihurus dalam Russell (2004: 372) untuk menjaga ketentraman batin, ia menganggap kenikmatan sebagai yang baik, dan tetap memegang teguh, dengan konsistensi yang luar biasa, terhadap segala konsekuensi dari pandangan ini. Kenikmatan adalah awal dan akhir hidup yang penuh berkah. Epihurus tidak sependapat dengan para hedonis pendahulunya dalam membedakan antara kenikmatan aktif dan pasif, atau kenikmatan dinamis atau statis. Kenikmatan dinamis terdapat dalam tercapinya tujuan yang diinginkan, keingginan sebelumnya itu disertai pendidikan. Kenikmatan statis terdapat dalam keadaan ekuilibrium, yang tercipta dari adanya semacam keadaan yang diinginkan jika keadaan itu tidak terjadi. Saya kira kita bisa mengatakan perumusan rasa lapar, ketika upaya untuk memuaskan itu masih berlangsung merupakan kenikmatan dinamis, namun keadaan senang yang lantas timbul ketika rasa lapar itu telah sepenuhnya terpuaskan adalah kenikmatan status. Dalam kedua hal ini Epihurus lebih bijaksana jika mengejar jenis kedua, sebab lebih murni, dan tidak tergantung pada adanya penderitaan. sebagai perangsang munculnya keinginan. Ia mengatakan juga bahwa kenikmatan sosial yang paling aman adalah persahabatan, karena beranggapan bahwa semua manusia senantiasa hanya mengejar kenikmatannya sendiri, kadang dengan cara yan bijaksana, kadang secara tak bijaksana.
Menurut Cicerno dalam Russell (2004:335) ia berpendapat bahwa persahabatan tak dapat dipisahkan dari kenikmatan, dan oleh sebab itu harus dikembangkan, kerena tanpa hal tersebut kita tidak dapat hidup dalam keamanan dan terjauhkan dari kecemasan, tak pula bisa merasakan kenikmatan.
Sedangkan menurut Broke dalam Russell (2004 : 842) menyakini bahwa kesenangan adalah sesuatu yang baik, dan ini merupakan pandangan yang diterima luas dikalangan empiris disepanjang abad 18 dan 19. Namun pandangan ini bertentangan dengan Isobbes dalam Russell (2004 : 842) mengagungkan kekuasaan. Sebaliknya Spinoza dalam Russell (2004 : 842) pada titik tertentu sependapat dengan Isobbes, adapun pandangan pertama berasal dari Isobbes, sedangkan yang kedua kebaikan terdapat kemanunggalan mistis dengan Tuhan.
Menurut John Stuart Mill dalam bukunya, Utiliarianism menawarkan argumen yang sedemikian menyesatkan sehingga sulit dipahami mengapa ia mengira argumen tersebut salah. Ia berkata: Kesenangan adalah satu-satunya hal yang patut dihasrati (desired); karenanya kesenangan adalah satu-satunya hal yang paling terhasrati (desirable). Ia berargumen bahwa satu-satunya benda yang dapat terlihat (visible) adalah benda yang dilihat, satu-satunya benda yang dapat terdengar adalah benda yang didengar. Ia tidak memperhatikan bahwa suatu benda dapat dilihat, jika benda itu patut terhasrati dan benda itu seharusnya dihasrati. Jadi disini jelas bahwa patut terhasrati merupakan syarat dari dihasrati.
Honis O. Kallsoff dalam Soerjono Soemardjo (1996 : 359) manusia dalam kenyataannya mencari kenikmatan (hedonisme psikologis) dengan prinsip yang mengatakan bahwa mausia seharusnya mencari kenikmatan (hedonisme etis). Disini jelas bahwa hedonisme ialah perbuatan yang diantara segenap perbuatan yang dapat dilakukan oleh seseorang akan membawa orang tersebut merasakan kebahagiaan yang sebesar-besarnya.

No comments:

Post a Comment