1. Kurangnya Efektifitas
Pendidikan Formal
Efektifitas
pendidikan adalah dasar utama tercapainya tujuan pendidikan. Pendidikan
dikatakan efektif ketika terciptanya sebuah iklim yang memungkinkan peserta
didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan
sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru,
instruktur, dan trainer) serta peserta didik adalah subyek yang saling
berinteraksi dalam proses pembentukan karakter yang membangun.
Tapi dalam
kenyataannya, pendidikan relatif dilegitimasi sebagai alat peraih prestise
dalam masyarakat. Pendidikan hanyalah bagian dari bentuk formalitas yang tanpa
tujuan jelas. Dalam hal ini pendidikan bukan diciptakan atas dasar pembentukan
sumber daya manusia yang kompeten, tetapi relatif diprioritaskan untuk pencapain
gelar formal semata. Dan mereka tidak peduli dengan apakah bidang keilmuan yang
diraihnya sesuai dengan potensi dasar mereka. Dari sini masih ada semacam
pencampur-adukan prioritas pendidikan dengan konsep pendidikan hanya sebatas
bagian dari gaya hidup. Maka tak jarang jika ketika dalam implementasinya ke
bidang pekerjaan tertentu, masih banyak sekali di dapati penempatan individu
yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya.
2. Standarisasi Pendidikan Formal
Carut marutnya
sistem pendidikan di Indonesia telah memaksa pemerintah untuk membentuk badan
standarisai pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar supaya sistem pendidikan yang
berjalan di Indonesia mempunyai patokan dasar yang jelas, demi terwujudnya
tujuan pendidikan secara merata.
Namun
kenyataan yang terjadi justru malah menenggelamkan persuasivitas pendidikan
kearah terjerumusnya sistem. Badan standarisasi pendidikan tidak dijadikan
sebagai acuan pembelajaran yang sesuai dengan cita-cita masyarakat bangsa.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan
formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan
kompetensi. Di mana kualitas pendidikan diukur oleh standard dan kompetensi di
dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Ironis memang,
kecanduan akan bentuk formalitas masih mendominasi sebagian besar para pelaku
sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga dengan badan standarisasi
pendidikan nasional, di mana selama ini hanya sekedar dijadikan pijakan formal
semata. Pemenuhan standarisasi pendidikan hanya berkutat seputar perencanaan
kurikulum, sarana dan media pendidikan saja. Sedangkan sistem dan mekanisme pembelajaran
yang akurat, fleksibel dan dinamis masih jauh dari harapan.
Jika hal ini
dibiarkan secara terus-menerus, maka akan terjadi kemungkinan adanya pendidikan
yang terkekang oleh standar kompetensi saja. Dengan begitu peserta didik
terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standart pendidikan, dan
bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak
perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang
diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
3. Terbatasnya Sarana Fisik
Pendidikan
Keterbatasan
sarana fisik sekolahan adalah problem klasik yang senantiasa merongrong sistem
pendidikan di Indonesia. Mulai dari pengadaan meja belajar, alat-alat tulis
hingga ke permasalahan gedung sekolah, sampai saat ini masih menjadi pekerjaan
rumah bagi pemerintah - khususnya Dinas Pendidikan - yang belum terselesaikan.
Hal ini menjadi masalah serius ketika sampai pada saat ini ternyata pemerintah
masih cenderung menomorduakan problematika pendidikan sebagai agenda wajib
pembahasan masalah negara. Pemerintah terkesan lebih mementingkan kepentingan
politik dari pada membahas masalah dunia pendidikan.
Dari sini
nampak jelas sekali, pemenuhan komponen pendidikan hanya terbatas pada sisi
formalitas saja. Problem belajar-mengajar akan bisa berjalan hanya dengan
adanya guru, murid, buku, alat tulis serta lokasi, tanpa memperdulikan
kelayakan dan tingkat optimalisasi peralatan tersebut. Pemerintah seakan tak
peduli apakah sarana pendidikan tersebut memenuhi syarat atau tidak, bahkan
sampai ruang belajar yang rusak serta gedung sekolahan yang mau roboh pun tidak
pernah menjadi agenda dasar permasalahan negara.
Hal ini
diperkuat lagi dengan adanya data Balitbang Depdiknas (2003) yang menyebutkan
untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta
memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak
364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan
ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau
kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI
lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
4. Rendahnya Kesejahteraan Guru
”Guru adalah
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Kata-kata mutiara tersebut mungkin relevan dengan
realitas guru di Indonesia. Sekilas mempunyai makna spiritualisasi yang sangat
tinggi. Secara tekstual sama sekali tidak ada yang salah dengan kata-kata
mutiara tersebut. Oleh karenanya kata-akata tadi selalu menjadi referensi bagi
semua masyarakat untuk menunjukkan sisi sosialisasi dan normalisasi mereka,
terutama dalam dunia pendidikan.
Tapi kalau
kita cermati secara mendalam, kesalahan justru ada pada pemaknaan secara
tekstualitas terhadap kata-kata tersebut dalam implementasinya terhadap
praksisme pendidikan. Lepas dari tekstualitas kata-kata tadi, pemerintah
seolah-olah lupa dan tidak mamandang bahwa secara kodrati guru adalah tetap
sebagai person yang membutuhkan kesejahteraan dan tataran hidup yang mapan
selayaknya provesi lain yang lebih menjanjikan. Apa yang selama didapat oleh
guru sama sekali tidak sebanding dengan kontribusi jasa mereka. Guru hanya
sebatas simbol profesi kemanusiaan di dalam bingkai pengabdian. Oleh karenanya
wajar jika di berbagai daerah muncul beberapa aksi komunitas guru untuk
menuntut hak dan privasi mereka yaitu kesejahteraan hidup.
Kalau hal
tersebut dibiarkan tanpa ada tindakan preventif dari pemerintah, maka bukan
tidak mungkin dampak yang muncul ke permukaan – sebagai sisi kausalitas dari
fenomena di atas – adalah penyelewengan wewenang, pengendapan provesi serta
pembelokan kaidah. Di antara akibat itu adalah:
·
Menurunnya kualitas guru yang pada kelanjutannya
akan berdampak pula pada rendahnya kualitas pendidikan serta tereliminasinya
potensi peserta didik. Mekanisme kerja guru akan menjadi asal-asalan dan tidak
optimal.
·
Provesi guru akan beralih kepada hanya sebagai
sambilan kerja. Karena sifatnya sambilan, maka segala kewajiban yang bersangkut
paut dengan guru dengan sendirinya akan bersifat skunder. Guru bukan lagi
diproporsikan sebagai profesi tetap dan optimalisasi kerja pun bukan
disesuaikan dengan tuntutan tetapi lebih kepada pendapatan.
·
Semakin sedikit peminat profesi guru. Hal ini
hampir bisa dipastikan, mengingat kesenjangan sosial dirasakan semakin
meningkat. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama mungkin akan semakin sulit
mencari calon-calon guru muda sebagai bagian dari regenerasi guru.
5. Mahalnya Biaya Pendidikan
Biaya
pendidikan adalah faktor klasik yang masih menjadi akar dari semua permasalahan
di dunia pendidikan. Kompleksitasnya telah dengan sukses melegitimasi ruang
gerak eksistensi pendidikan. Di Indonesia faktor tersebut selama ini masih
hanya terbatas pada wacana yang entah kapan dapat terealisasikan. Karena ia
adalah akar permasalahan di masyarakat, maka tak heran jika biaya pendidikan
banyak dijadikan propoganda dari setiap kampanye politik, guna mengukuhkan
eksistensinya. Hampir di setiap struktur birokrasi selalu menyuarakan biaya
pendidikan rendah bahkan gratis demi kelancaran sebuah karier politik, baik
yang sifatnya pribadi maupun partai. Ironisnya, dari sekian banyak program yang
dijanjikan, selama ini belum ada satupun program pun yang terealisasikan secara
persuasif.
Kondisi ini
diperparah lagi dengan rencana pemerintah lewat Depdiknas yang akan membagi
jalur pendidikan menjadi dua kanal, yaitu: jalur pendidikan “formal mandiri”
dan “formal standar”. Hal ini jelas mengandung asumsi di mana pendidikan bukan
saja dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga
atas dasar kemampuan akademik, dalam pengertian masyarakat bodoh dan miskin
sama sekali tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan
berkualitas.
Dengan
demikian, pendidikan akan terkelola seperti halnya perusahaan, di mana kualitas
pendidikan relative lebih didasarkan pada faktor financial, dan bukan atas
dasar terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan
berkualitas bagi rakyat Indonesia. Dari sini pemerintah seolah-olah ingin
membelokkan tujuan pendidikan kearah privatisasi pendidikan., di mana tanggung
jawab pemerintah terhadap pendidikan relative terkurangi bahkan lepas sama
sekali.
Secara
empiris, kenyataan ini juga bisa dilihat pada anggaran pendidikan di Indonesia
selama ini, di mana dari anggaran total pendidikan ‘hanya; dialokasikan di
bawah 105 dari APBN, padahal dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas
pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan. Rinciaan Alokasi dana pndidikan pada tahun 2005
hanya sebesar 8,1% dari APBN, sedangkan pada tahun 2006 sebesar 9,1%. Meskipun
pemerintah dan DPR sudah memiliki kesepakatan untuk menaikkan anggaran secara
bertahap 2,7%/tahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005),
12,02% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009), namun nota
kesepatan tersebut sudah diingkari. Dapat kita bayangkan jika kenaikan bertahap
2,7%/tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran dalam
tahun 2008 tentu jauh dari harapan. Hal tersebut juga masih jauh dari target
kesepakatan yang dihasilan dalam KTT menteri pendidikan se-Asia Tenggar tahun
1992, yaitu minimal 25% dari APBN.
Gambaran
nuansa privatisasi pendidikan di atas, juga sudah terlihat dalam legalitas
pendidikan nasional. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban"
pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat,
menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU
Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan
dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat
2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya
penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya
sesuai undang-undang yang ada.
Padahal, masih
dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat
(18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi
penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga
negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah
program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas
tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di
atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara
tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di
Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa
"setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan
program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".
Dari kenyataan
di atas, nampak ada semacam proses pembodohan masyarakat, di mana masyarakat
sengaja dibiarkan pada posisinya yang bodoh, miskin dan terbelakang. Entah atas
dasar pengukuhan otoriterisme atau atas dasar efektifitas anggaran Negara,
namun yang jelas masyarakat dibiarkan dalam bingkai kebodohan, pengekangan
kebebasan pendidikan serta isolasi eksternal dalam proses pengembangan wawasan.
No comments:
Post a Comment