Sunday, November 30, 2014

Surat Perintah 11 Maret 1965 (Supersemar) sebagai Tonggak Lahirnya Orde Baru

                Para anggota kabinet Dwikora mengadakan sidang di Istana Merdeka, yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Pada saat berlangsungnya sidang, rakyat berdemonstrasi dengan hebat di luar Istana Merdeka. Tiba-tiba ajudan presiden melaporkan bahwa ada pasukan tanpa tanda pengenal di sekitar istana. Presiden Soekarno kemudian meninggalkan sidang menuju ke Istana Bogor.
                Setelah sidang selesai, Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf, dan Brigjen Amir Machmud membicarakan kepergian presiden ke Bogor, mereka khawatir presiden akan terpengaruh oleh pandangan PKI. Oleh karena itu, presiden harus diyakinkan agar PKI harus segera dibubarkan. Ketiga perwira tinggi itu meminta izin kepada Letjen Soeharto untuk bertemu dengan presiden.
                Di Istana Bogor, ketiga perwira tinggi berdiskusi dengan Presiden Soekarno membicarakan agar PKI dibubarkan. Berdasarkan hasil diskusi, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi segala keadaan. Surat perintah itulah yang dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)

                Supersemar berisi pemberian kekuasaan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi menjamin keamanan, ketertiban, dan kestabilan pemerintahan serta keutuhan bangsa dan negara. Di dalam menjalankan tugas, penerima mandat juga diharuskan melaporkan segala sesuatunya kepada presiden.
                Letjen Soeharto sebagai pengemban supersemar segera memenuhi Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Pada tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkan surat keputusan berisi pembubaran & pelarangan PKI berserta ormas-ormasnya di seluruh Indonesia.
                MPRS dan DPRGR dibersihkan dari unsur G30S/PKI & rezim Orde Lama. Upaya tersebut dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS & DPRGR yang diduga terlibat G30S/PKI. Setelah itu dibentuk pimpinan DPRGR & MPRS yang baru.
                Pada tanggal 20 Juni-5 Juli 1966 diadakan Sidang Umum IV MPRS untuk menata kembali lembaga-lembaga yang menyimpang terhadap UUD 1945. Letjen Soeharto ditugaskan membentuk kabinet baru dan bernama Kabinet Ampera. Dipimpin oleh Presiden Soekarno namun pelaksanaanya dilakukan oleh presidium kabinet yang dipimpin oleh Jend. Soeharto. Bertugas menciptakan stabilitas politik & ekonomi sebagai prasyarat pelaksanaan pembangunan nasional. Tugas itu disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Catur Karya Kabinet Ampera. Kabinet Ampera. Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jend. Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966.
                Jend. Soeharto pada tanggal 4 Maret 1967 memberikan keterangan pemerintah dihadapan sidang DPRGR mengenai terjadinya penyerahan kekuasaan. Pemerintah tetap berpendirian bahwa penyelesaian konstitusional tentang penyerahan kekuasaan tetap perlu dilaksanakan lewat sidang MPRS. Untuk menghindari penentangan politik yang berlarut-larut, diadakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta. Keputusan  penting yang dicapai dalam Sidang MPRS tersebut berisi pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno & mengangkat Jend Soeharto sebagai penjabat presiden  sampai dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilu. Ketetapan itu mengakhiri dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia.
                Tanggal 21-30 Maret 1968, MPRS mengadakan Sidang Umum V yang menghasilkan keputusan yang mengangkat Jend Soeharto sebagai Presiden RI sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilu yang akan datang. Pelantikan Jend Soeharto sebagai Presiden RI dilakukan pada tanggal 27 Maret 1968.


                                 


No comments:

Post a Comment