Masa kanak-kanak
awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt.
Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri,
dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa
ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa
malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau
persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua
adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya mulai dari usia 18 bulan sampai 3
atau 4 tahun (balita). Tugas yang harus
diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat
memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi
antara anak dan orang tuanya
terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu
kemandirian. Namun, jika
orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam
perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain,
ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam
aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia
balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut
akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini
menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga akan
nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman
baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat
menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima
control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan
orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak
dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua
terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga
anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak
seharusnya bertindak sendirian. Hal ini juga mengakibatkan jika anak ingin melakukan sesuatu akan selalu
melihat orang tuanya dahulu apakah diperbolehkan melakukannya atau tidak.
Orang tua dalam
mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak
pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di
sini, yaitu harus bersikap tegas
namun toleran, karena
dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.
Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau
kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan
berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson
sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya
apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak
baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang
disebut Erikson compulsiveness (keterpaksaan). Sifat inilah yang
akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung
pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan
secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak
dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan
ragu-ragu.
Jika dapat
mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat
diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif
yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam
kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak
secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.
Ritualisasi yang
dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme.
Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat
menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku
orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola
pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni
merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak
yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada
penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa
ampun, dan tanpa rasa belas kasih.