Thursday, February 6, 2020

TEORI ERIK ERICKSON TAHAP 2 "Autonomy VS Shame & Doubt"


Masa kanak-kanak awal (early childhood) ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan dari orang tuanya.

Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun (balita). Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orang tuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman  baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan  yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain.
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian. Hal ini juga mengakibatkan jika anak ingin melakukan sesuatu akan selalu melihat orang tuanya dahulu apakah diperbolehkan melakukannya atau tidak.

Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini, yaitu harus bersikap tegas namun toleran, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson compulsiveness (keterpaksaan). Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu.

Jika dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Meminjam kata-kata dari Supratiknya yang menyatakan bahwa “kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban”.

Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya menurut Alwisol mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih.

No comments:

Post a Comment